RESUME BUKU
Judul Buku : Hati yang Bersih Kunci Ketenangan Jiwa
(Moral Agama Sebagai
Penyejuk Jiwa)
Penulis : Gulam Reza Sultani
Penerbit : Pustaka Zahra Jakarta
Tahun Terbit : 2004
Tebal : xii + 312 halaman.
Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad Saw.
bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk memperbaiki akhlak” (HR.
Ahmad). Hadis ini menggambarkan bahwa di antara tugas utama Nabi adalah untuk
memperbaiki moral atau akhlak manusia yang pada waktu itu sangat jauh melenceng
dari nilai-nilai kebenaran. Nabi Saw. membimbing dan membawa manusia agar
menjadi manusia yang utuh, yakni memiliki moral atau budi pekerti yang luhur.
Secara etimologis, kata akhlak berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya’qub, 1988: 11).
Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika dan moral. Sedangkan secara
terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran (Rahmat Djatnika, 1996:
27). Akhlak merupakan salah satu pilar ajaran Islam yang paling penting di
samping dua pilar lainnya, yaitu aqidah (keyakinan) dan syari’ah (hukum Islam).
Akhlak sekaligus juga merupakan kesempurnaan dari ajaran Islam. Realisasi
akhlak dalam perbuatan nyata bisa bernilai positif (terpuji) dan bisa juga
bernilai negatif (tercela).
Mengantarkan manusia agar memiliki
moral atau budi pekerti yang luhur, bukanlah pekerjaan yang ringan. Nabi
Muhammad Saw. melakukan reformasi akhlak manusia ini memakan waktu yang tidak
sebentar, yakni kurang lebih dua puluh tiga tahun. Nabi Saw. melakukan tugas
ini secara bertahap dengan dibimbing langsung oleh Allah melalui
wahyu-wahyu-Nya yang juga diterima Nabi secara berangsur-angsur. Untuk
mendasari perubahan moral manusia ini, Nabi memulainya dengan memperbaiki
aqidah atau keyakinannya. Masyarakat manusia di sekitar Nabi pada saat itu
mayoritas menyembah berhala, suatu keyakinan yang jauh menyimpang dari aqidah
Islam. Secara bertahap Nabi berhasil memperbaiki kepercayaan sebagian
masyarakat Jahiliah, sehingga di antara mereka kemudian mengikuti Nabi dan
mengakui serta menyembah Tuhan Yang Esa, yakni Allah Swt. Bersamaan dengan
perbaikan keyakinan tersebut, Nabi juga memasukkan pesan-pesan moral, sehingga
moral Jahiliah berangsur-angsur bergeser dan berganti menjadi moral Islami.
Dengan berbekal keyakinan dan moral yang benar, Nabi kemudian mengajak manusia
untuk melakukan ibadah (hambul minallah) dan muamalah (hablum
minannas) sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Itulah gambaran betapa sulitnya melakukan perubahan
moral manusia. Perubahan moral ini sangat terkait dengan fitrah manusia yang
oleh Allah dibekali dengan potensi untuk berbuat jahat di samping potensi untuk
berbuat baik (QS. al-Syams (91): 8). Allah melengkapi manusia dengan akal
(pikiran) agar dipergunakan untuk membawa manusia kepada keagungan dan
keluhuran moralnya. Sebaliknya, Allah juga melengkapi manusia dengan nafsu yang
jika tidak dapat dikendalikan oleh akal budinya dengan baik, akan
mengantarkannya kepada keburukan dan kerendahan moralnya.
Dengan akalnya, manusia terkadang tidak mampu membawa
dirinya ke arah kebaikan yang sebenarnya. Di sinilah manusia sebenarnya sangat
membutuhkan bimbingan wahyu Allah yang terwujud dalam ajaran-ajaran agama
(baca: Islam) agar manusia memperoleh konsep kebaikan dan kebenaran yang
hakiki. Dengan petunjuk agama ini, manusia diharapkan dapat meraih kebaikan dan
kebenaran serta dapat menjauhi kemunkaran dan berbagai bentuk kezaliman.
Buku yang sedang dibicarakan ini
banyak memberikan gambaran umum mengenai ajaran-ajaran moral agama, khususnya
Islam, yang sudah terpolakan dalam bentuk sikap dan perilaku baik yang
tergolong ke dalam akhlak mahmudah (akhlak terpuji) maupun akhlak madzmumah
(tercela). Penulis buku ini, Gulam Reza Sultani, mencoba memaparkan hampir keseluruhan
bentuk akhlak yang dapat kita jadikan dasar untuk bertingkah laku (berakhlak)
dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini, dalam edisi aslinya yang berbahasa
Inggris, berjudul Islamic Morals, yang terjemahan bebasnya adalah
“Ajaran-ajaran Moral yang Islami”. Namun dalam edisi berbahasa Indonesia
penerjemah dan penerbit buku ini memberi judul: Hati yang Bersih Kunci
Ketenangan Jiwa. Judul terjemahan ini barang kali didasari bahwa
uraian-uraian tentang ajaran moral yang ada dalam buku itu dapat membuka dan
sekaligus mencuci hati manusia yang sudah terkotori oleh perilaku-perilakunya
sehari-hari yang banyak dipengaruhi oleh budaya dan tradisi yang sekarang ini
cenderung bersifat pragmatis dan materialistis. Pola-pola hedonisme sangat
mendominasi gaya hidup umat manusia sekarang ini.
Hati yang bersih diharapkan dapat membawa manusia
untuk bersikap dan berperilaku yang baik dan benar yang pada akhirnya akan
membawa ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Karena itu, setiap individu Muslim dituntut agar serius dalam
menghadapi apa yang sedang terjadi di seputar dirinya. Ia harus siap dan berani
merubah masyarakat di sekitarnya. Ia harus dapat mempertahankan cara hidup yang
Islami. Tugas seperti ini merupakan tugas bersama kita, umat Islam, di mana pun
dan kapan pun. Setiap kita melihat seseorang melenceng dari aturan norma hukum
(syariah), kita harus membimbingnya agar kembali ke jalan yang lurus. Ini
menurut Gulam Reza merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh setiap Muslim
dalam
menegakkan kebenaran (halaman 19).
Sebagai kunci untuk membuka hati manusia agar dapat
dibersihkan, Gulam Reza menekankan pentingnya niat yang ikhlas dalam setiap
aktivitas seorang Muslim. Segala sesuatu yang dilakukan seseorang tanpa
keikhlasan, tidak akan memberikan manfaat baginya, bahkan hal itu berbahaya
bagi kehidupan akhirat. Dalam hadis Nabi Saw. banyak dicontohkan berbagai amal
(perbuatan) yang dilakukan tanpa niat yang ikhlas yang pada akhirnya hanya
mendapatkan hasil sia-sia. Nabi Saw., misalnya, mencontohkannya dalam ibadah
shalat dan puasa (halaman 22).
Sebaliknya, al-Quran dan hadis Nabi
memberikan peringatan agar berhati-hati dalam berbuat. Jangan sampai sikap dan
perilaku kita terkotori dengan riya’ (pamer), karena riya’ itu akan
menghapuskan semua pahala (QS. al-Baqarah (2): 264). Riya’ dalam beribadah
merupakan ciri dari perbuatan orang munafiq (QS. al-Nisa’ (4): 142), padahal
orang munafiq jelas akan mendapatkan balasan neraka. Inilah salah satu sikap
atau bentuk perilaku tercela (akhlak tercela) yang diuraikan dalam buku yang
kita bicarakan ini. Di samping riya’, buku tersebut juga menguraikan
bentuk-bentuk sikap dan perilaku tercela yang lain, misalnya ujub (bangga
diri). Sikap ujub ini tampak ketika seseorang menganggap dirinya hebat lantaran
dapat meraih hasil yang dituju, baik yang bersifat materi maupun non-materi.
Ujub sangat berbahaya bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Shadiq, salah satu Imam Syi’ah, menggambarkan ujub dengan katanya: “Ujub
adalah taman yang benihnya adalah kufur, tanahnya nifaq, airnya penindasan,
dahan-dahannya kebodohan, daunnya kedurhakaan, buahnya adalah kutukan, dan
tempat pembuangannya adalah neraka” (halaman 38). Begitulah bahaya
besar yang ditimbulkan oleh sikap ujub. Untuk mengobati sikap ujub pada diri
seseorang adalah dia harus memahami betul bahwa Allahlah Dzat pemilik kebesaran
dan kehebatan dan sebaliknya manusia sebagai pemilik kekerdilan dan kefanaan.
Dengan merenungkan kelemahannya, manusia akan malu membanggakan dirinya (ujub).
Menghindari ujub juga bisa dilakukan dengan melihat faktor-faktor penyebabnya
yang lebih rinci. Dengan memahami faktor-faktor tersebut, seseorang dapat
dengan mudah mengobatinya dengan mendasarkan pada kesadaran hati nuraninya dan
kecerdasan emosionalnya. Sikap-sikap dan perilaku tercela lain yang juga
diungkap dalam buku ini adalah sikap sombong (h. 47), cinta kedudukan dan
kemashuran (h. 57), cinta dunia (h. 61), dengki (h. 67), serakah (h. 73), tamak
(h. 75), ambisius (h. 77), bakhil (h. 79), zalim (h. 83), munafiq (h. 103),
amarah (h. 233), hati yang membatu (h. 237), bodoh, ragu-ragu, dan bimbang (h.
239), fanatisme (h. 253), berlebihan dan boros (h. 261), ghibah (h. 297), dan
suka memfitnah (h. 303).
Di samping menguraikan bentuk-bentuk akhlak tercela
dengan segala faktor penyebab dan akibat buruknya, Gulam Reza juga menguraikan
bentuk-bentuk akhlak terpuji. Gulam mendasari uraiannya dengan mengupas konsep
iman secara mendalam. Dijelaskan, bahwa iman merupakan perpaduan dari kesaksian
hati, kesaksian lisan, dan pengamalan dalam bentuk perbuatan. Kesempurnaan iman
harus didukung oleh terpadunya tiga elemen iman tersebut. Jika satu elemen
tidak terpenuhi, maka iman itu tidak akan menjadi sempurna. Dalam berbagai
ayat, al-Quran mempertegas hal tersebut, misalnya QS. al-Ankabut (29): 9 dan
58, QS. Luqman (31): 8-9, dan QS. al-‘Ashr (103): 1-3. Bentuk-bentuk ajaran
moral (akhlak) yang terpuji dalam buku ini di antaranya adalah takut dan
berharap kepada Allah, rendah hati dan sopan santun, sabar dan teguh, tawakkal
kepada Allah, rido kepada Allah, syukur, menepati janji, jujur, memelihara
harga diri dan malu, semangat, berprasangka baik, memberi maaf dan toleran,
wara’, takwa, dan zuhud.
Satu contoh dari akhlak terpuji
dapat dikemukakan di sini, yakni tentang zuhud. Zuhud berarti membatasi
ambisi-ambisi duaniawi, bersyukur terhadap setiap anugerah, dan menghindari apa
yang telah diharamkan oleh Allah. Zuhud tidak berarti membuang harta benda dan
menolak apa yang dibolehkan, tetapi zuhud bermakna bahwa engkau tidak boleh
beranggapan bahwa apa saja yang engkau miliki, harta dan kekuasaan, adalah
lebih aman daripada apa yang ada di sisi Allah. Sikap zuhud dapat
terlihat: pertama, jika seseorang kehilangan sesuatu, dia
tidak akan larut dalam duka cita, dia akan berusaha untuk mendapatkan masa
depan yang gemilang, dan kedua, tentang apa yang dimiliki, dia
tidak boleh terlampau mencintainya hingga menyerupai perbudakan. Zuhud adalah
kebebasan dari cengkeraman harta benda, kedudukan, dan segala sesuatu yang
bersifat materi. Kebebasan ini demikian pentingnya, sehingga tidak seorang pun
dapat meraih tujuannya tanpa kebebasan tersebut. Orang yang zahid
adalah orang yang memiliki kemampuan untuk hidup mewah tetapi tidak
melakukannya. Orang yang tidak memiliki kemampuan semacam itu dan tidak hidup
secara mewah tidak dapat dikategorikan sebagai zahid. Orang yang zahid akan
banyak membelanjakan hartanya di jalan Allah. Jika para pemimpin bangsa di
republik ini memiliki sikap zuhud ini, maka berbagai bentuk pelanggaran hukum
dan moral, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak akan separah seperti
sekarang ini.
Di bagian-bagian akhir, buku ini juga memaparkan
beberapa bentuk akhlak terpuji selain yang disebutkan di atas. Secara khusus di
akhir buku ini dijelaskan beberapa ketentuan tentang akhlak terhadap orang tua,
akhlak dalam keluarga, akhlak terhadap tetangga, dan akhlak di tengah-tengah
masyarakat dan negara. Uraian ini juga banyak memberikan masukan bagi para
keluarga dalam menata hubungan internnya. Dari bangunan keluarga yang kokoh
terbentuklah masyarakat dan negara yang kokoh pula.
Dari gambaran isi seperti
dikemukakan di atas, terlihat bahwa buku ini berpretensi mengungkap segala
permasalahan terkait dengan akhlak manusia, baik yang bersifat terpuji maupun
tercela. Buku ini mendasari uraiannya dengan menghadirkan ayat-ayat suci
al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, ditambahkan juga
berbagai pendapat para ulama untuk mempertegas konsep-konsep dasar sebagaimana
yang ditegaskan dalam nash. Penulis buku ini mencoba menyentuh hati
nurani pembaca dengan menghadirkan targhib (anjuran untuk
melakukan perbuatan-perbuatan baik dengan menunjukkan ganjaran-ganjarannya)
dan tarhib (larangan melakukan perbuatan-perbuatan tercela
dengan menunjukkan akibat-akibat buruknya). Dengan targhibdan tarhib ini
diharapkan pembaca akan memperoleh kesadaran nurani sehingga berusaha untuk
berperilaku dengan akhlak yang terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela.
Buku ini merupakan buku yang cukup komprehensif
mengupas berbagai bentuk ajaran moral dalam Islam. Namun, buku ini bukan
berarti tidak memiliki nilai kurang. Dilihat dari sisi sumber informasinya,
buku ini kurang mengakomodasi sumber-sumber ajaran yang terbuka. Penulis buku
ini, Gulam Reza Sultani, adalah seorang penganut mazhab Syi’ah, sehingga buku
yang ditulisnya sarat dengan nuansa Syi’ah. Hadis-hadis Nabi yang dirujuk
hanyalah hadis-hadis yang melalui sanad Ali bin Abi Thalib saja. Tidak ada satu
hadis pun yang bersanadkan pada Amirul Mukminin lainnya (baik Abu Bakar, Umar,
maupun Usman), atau dari sahabat-sahabat lainnya. Begitu juga para ulama yang
diambil pendapatnya hanyalah yang dari kalangan Syi’ah, terutama kelompok Ahlul
Bait (ulama dari keturunan Nabi dan Ali bin Abi Thalib). Memang, keberpihakan
pada mazhab Syi’ah ini tidak sampai mengurangi nilai substansi dari materi
akhlak yang diuraikan, sebab perbedaan mazhab tidak terlalu berpengaruh dalam
masalah akhlak. Lain halnya, jika yang dibicarakan itu adalah masalah hukum
atau syariah. Meskipun demikian para pembaca, terutama yang tidak bermazhab
Syi’ah, ketika mengetahui bahwa buku yang dibacanya sangat bernuansa Syi’ah,
akan sedikit banyak berpengaruh dalam memegangi konsep-konsep yang dijelaskannya.
Buku ini, sebagaimana buku-buku akhlak lainnya, juga
sangat bersifat normatif. Namun, kita perlu menyadari bahwa sejak kecil kita
sudah terbiasa dengan ajaran-ajaran yang bersifat normatif. Tidak ada
masyarakat di belahan bumi ini yang hidup tanpa sistem pengajaran moral, baik
yang disampaikan lewat media keluarga yang bersifat turun-temurun, lewat
lembaga-lembaga pendidikan, lewat jalur-jalur birokrasi negara, lewat
organisasi kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Karena itu, keberadaan buku ini
tetap akan memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi para pembaca ketika
ajaran-ajaran normatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku
nyata di tengah-tengah masyarakat manusia.
Di tengah-tengah belantara buku-buku
yang beredar di Indonesia, baik di perpustakaan maupun di toko-toko buku yang
semakin menjamur, kehadiran buku yang berisi ajaran-ajaran moral yang ditulis
Gulam Reza Sultani ini semoga bisa menjadi alternatif bacaan bagi peminat baca
di Indonesia, terutama dengan melihat perkembangan moral bangsa kita yang
semakin hari semakin dipertanyakan keberadaannya. Buku ini semoga dapat
menyejukan jiwa para pembaca, baik di kalangan akademisi, para pemimpin bangsa,
para politisi, maupun masyarakat pada umumnya. Akhirnya, buku ini semoga dapat
menambah nilai EQ (Emotional Quotient) di samping IQ (Intelligent
Quotient).
Daftar
Pustaka:
Al-Quran al-Karim
Hamzah Ya’qub. (1988). Etika
Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV
Diponegoro. Cet. IV.
M. Amin Abdullah. (1995). Falsafah
Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.
Rachmat Djatnika. (1996). Sistem Etika Islami
(Akhlak Mulia). Jakarta: Pustaka Panjimas.
No comments:
Post a Comment